Halaman

Minggu, 08 Mei 2016

Aku dan Mereka



            Hari pertamaku masuk sekolah. Aku bangun pagi hari ini, bergegas mandi dan sarapan. Bunda dan Ayahku sudah menungguku di meja makan untuk sarapan bersama.
            “Selamat pagi, sayang.”, sambut Bunda sembari menyium keningku. Tradisi yang tak pernah luntur sejak aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak.
            “Pagi Bunda, pagi Ayah.”, balasku dengan senyum mengembang.
            “Nanti kamu pulang jam berapa, Ke?”, tanya Ayah padaku.
            “Keke belum tahu, Ayah. Kemarin sih di jadwal acara MOPD sampai jam 3 sore. Nanti siapa yang jemput Keke? Ayah, atau Pak Parjo?”, tanyaku balik.
            “Mungkin Ayah bisa menjemputmu. Sekalian kita makan malam di luar, bagaimana?”, Ayah menawari.
            “Yey!  Kita ke Public Resto ya, Yah!”, pintaku.
            “Iya, sayang. Sekarang makan dulu tuh masakan Bunda. Jangan dianggurin.”, sahut Bunda.
            “Iya Bunda cantik.”, balasku seraya menikmati sarapan lezat buatan Bunda.
            “Kalau kamu ketemu cowok cakep, jangan lupa cerita sama Bunda, ya!”, seloroh Bunda di sela sarapan.
            “Ah, Bunda apaan sih! Aku itu SMA mau serius belajar, aku nggak pengin nyari cowok.”, balasku sambil memajukan bibir.
            “Ih, anak Ayah tambah imut kalau manyun.”, goda Ayah.
            “Ayah apaan sih, bukannya belain Keke malah ikut-ikutan Bunda!”, sambungku.
            Kami pun melepas tawa. Yah, bercanda tiap pagi sudah menjadi rutinitas di keluargaku. Walaupun ayah super sibuk, tapi ayah tetap meluangkan waktu untuk keluarganya. Bunda, selain mengurus butiknya tak pernah mengabaikan urusan rumah tangganya. Aku bersyukur Tuhan telah memberiku keluarga yang sayang padaku. Aku tahu di luar sana masih banyak orang yang tak seberuntung diriku.
****
            Hari pertama MOPD di sekolahku, diadakan upacara pembukaan. Kami dikumpulkan berdasarkan kelas masing-masing. X-D, kelas dengan 24 siswa, akan menjadi kelasku di tahun pertama ini.
            “Semua peserta didik baru segera berbaris di lapangan berdasarkan kelasnya masing-masing, sekarang!”, suara speaker SMA terdengar membahana, kami pun bergegas meuju barisan.
            “Hai, di sebelahmu kosong?”, tanya teman baruku.
            “Iya, aku sendiri.”, jawabku.
            “Boleh aku baris di sebelahmu?”, tanyanya lagi.
            “Iya, silahkan.”, jawabku mengiyakan.
            Arya, nama teman baruku yang sekarang berdiri di sebelahku. Aku berdiri hanya setinggi lehernya, yah aku memang tidak begitu tinggi.
****
            Upacara berjalan dengan khidmat. Seusai upacara para peserta MOPD dikumpulkan di ruang kelas masing-masing dan diberi waktu untuk berkenalan satu sama lain.
            Kelasku tidak jauh dari kantin, dekat dengan kamar mandi. Untuk mencapai perpustakaan pun tidak terlalu jauh. Cukup strategis untuk menuju tiga tempat yang sering aku kunjungi itu.
            Di kelas aku duduk sebangku dengan Natasha, alumni SMP Harapan Bangsa. Yah, notabene-nya para siswa SMA Tunas Harapan adalah alumni SMP tersebut, termasuk Arya. Dan aku, hanya berlima dengan temanku dari SMP 5 Kota dan kami berlima beda kelas.
            Sedikit banyak aku mengenal teman-teman baruku. Arya adalah anggota tim basket di SMPnya. Natasha anggota Vocal Group, Bima yang berkacamata Tim OSN inti SMP Tunas Harapan, Neta yang manis adalah seorang kutu buku sama sepertiku, Yuda tim futsal di SMPnya, Liza sangat suka menyanyi, Intan yang seorang K-Popers, Ayu yang pintar bicara, Bayu atlet renang, dan masih banyak lagi tapi merekalah yang sudah cukup akrab denganku.
            “Bagi nomor HP dong, Ke.”, pinta Arya saat kami sedang berbincang bersama.
            “Keke aja yang dimintain nomor HP?”, goda Tasha.
            “Eh iya, kan nanti gantian minta yang lain.”, balas Arya.
            “Haha, iya-iya. Nih nomor aku, catet ya! 081234567890. Oiya, yang lain juga dong, bagi nomor HP, twitter, FB, insta, skype, YM..”, cerocosku.
            “Eits, stop! Jangan diterusin!”, sahut Bayu menghentikan ocehanku.
            “Haha, si Keke cerewet!”, kata Neta menimpali.
            “Biarin!”, balasku sambil menjulurkan lidah.
****
            MOPD hari pertama sangat menyenangkan. Aku punya banyak teman baru, dan hari ini Ayah mengajakku dan Bunda makan malam.
            Jam tiga aku menunggu Ayah di gerbang sekolah. Sudah sepuluh menit aku menunggu tapi ayah tak kunjung datang.
            “Sendirian, Ke?”, tanya seseorang mengagetkanku.
            “Eh, Arya! Iya nih, nunggu Ayahku.”, balasku pada seseorang yang ternyata Arya.
            “Kamu belum pulang?”, sambungku.
            “Belum, tadi ke kantin dulu beli minum, terus pas keluar malah lihat kamu sendirian di sini.”, jawabnya.
            “Haha, terus kalo aku sendirian kenapa?”, balasku.
            “Ya, aku mau nemenin aja. Kasihan kan kamu sendirian di sini, kalo ada yang nyulik gimana? Hehe.”, sambung Arya.
            “Ihh, alay deh. Mana ada penculik mau nyulik cewek dekil kayak aku, apa untungnya coba? Yang ada mereka rugi ngasih makan aku. Haha.”, selorohku.
            “Kamu bisa aja, ya! Haha.”, perbincangan kami terhenti saat mobil ayahku berhenti tepat di depan kami berdiri.
            “Eh, itu ayahku. Udah dulu ya, Ar. Makasih udah nemenin aku!”, kataku seraya meninggalkan Arya menuju mobil.
****
            “Siapa itu, Ke? Cowokmu?”, seloroh Bunda ketika aku telah memasuki mobil.
            “Eh Bunda ini apa ya! Itu Arya, teman sekelasku. Tadi dia dari kantin pas mau pulang lihat aku, yaudah kita ngobrol-ngobrol dulu.”, jelasku.
            “Ngobrol-ngobrol apa PDKT?”, sahut Ayah.
            “Tuh kan Ayah ikut-ikutan! Kalo gini mah Keke kalah terus, nggak ada yang belain!”, balasku seraya memajukan bibir.
            “Ihh, anak Bunda ngambek. Tambah imut kan, jadinya.”, seloroh Bunda.
            “Ihh, Bunda apaan sih.”, balasku tak bisa menyembunyikan senyumku.
            “Nah kan, udah nggak ngambek lagi.”, ledek Bunda.
            “Bunda!”, aku pun mencubit lengan Bunda, dan kami pun terus bercanda di mobil.
            Sebelum ke Public Resto, kami mampir terlebih dahulu ke pusat perbelanjaan karena masih sore, belum waktunya makan malam. Setelah pukul tujuh, kami bergegas menuju resto.
****
            “Mau makan apa, sayang?”, tanya Bunda.
            “Terserah, aku ngikut Ayah sama Bunda.”, jawabku.
            “Aku mau ke toilet dulu, Bun.”, sambungku seraya bangkit menuju toilet.
            Saat aku keluar, di pintu toilet seseorang menepuk bahuku dan menyapaku, “Hay, Kaila Radeta Putri Wibowo.”.
            Aku pun menoleh dan ternyata,
            “Arya! Kamu lagi! Ngapain di sini?”, sahutku melihat Arya ada di restaurant yang sama denganku.
            “Lagi dinner sama mamaku, kamu?”  , tanyaku balik.
            “Sama! Aku juga lagi makan malam sama Ayah sama Bunda.”, balasku.
            “Lho kok sama sih? Hehe, kalian di mana? Ntar aku nyusul ah di sebelah kalian.”, lanjutnya.
            “Haha, itu meja nomor 14.”, balasku.
            “Oke, nanti aku sama mamaku ke meja nomor 15. Sampai nanti, hehe.”, sambung Arya.
            “Haha, dasar aneh! Aku duluan, ya!”, sahutku seraya meninggalkannya kembali ke mejaku.
****
            “Lama banget, Ke. Kamu ngapain aja?”, tanya Bunda setelah aku sampai di meja.
            “Tadi ketemu Arya, Bun. Dia ke sini sama mamanya, katanya nanti mau nyusul ke meja sebelah.”, jawabku.
            “Kalo udah jodoh nggak ke mana ya, di mana aja pasti ketemu.”, seloroh Ayah disusul gelak tawa Bunda.
            “Ih, Ayah apaan sih! Ayo ah makan dulu.”, balasku sambil mencubit lengan Ayah.
            Saat sedang bercanda, Arya datang bersama mamanya.
            “Malam Om, Tante.”, sapa Arya.
            “Malam Tuan dan Nyonya Wibowo.”, sambung Mama Arya.
            “Oh, malam. Ini Arya kan? Dan, mamanya?”, balas Bunda.
            “Iya, saya Rike.”, kata Mama Arya, Tante Rike memperkenalkan diri.
            “Oh, silahkan bergabung dengan kami.”, kata Ayah mempersilakan.
            Tante Rike dan Arya pun bergabung bersama kami, dan kami berhenti berbincang sejenak untuk menikmati makan malam kami.
            Seusai makan, Ayah kembali membuka perbincangan, “Nyonya Rike, ini kerjanya apa ya kalo boleh tahu?”.
            “Oh, saya hanya membuka jasa catering, untuk tambahan penghasilan saja, soalnya suami saya sudah cukup menafkahi keluarga kami.”, balas Tante Rike.
            “Memangnya suami Tante kerja apa?”, sahutku ikut dalam perbincangan.
            “Mm, ayah Arya adalah presdir Sun Bakery.”, balasnya lagi.
            “Hah? Jadi sekarang kami ini sedang berhadapan dengan Nyonya Besar dan Tuan Muda Sun Bakery?”, sahut Bunda terkejut.
            Aku pun kaget, ternyata Arya adalah anak pengusaha roti dan kue terkaya di kotaku.
            “Haha, Anda tidak usah seperti itu. Anak kita berteman, kita pun berteman. Tidak ada yang berbeda, kita sama-sama manusia.”, balas Tante Rike, bijaksana dan berwibawa.
            “Tapi kami benar-benar tidak menyangka bahwa Arya adalah anak dari pemilik Sun Bakery, Tante. Saya benar-benar tidak menyangka punya teman seperti Arya.”, sahutku.
            “Kamu ini, biasa saja sayang. Arya masih satu spesies sama kamu kok, haha.”, berwibawa, tapi tetap memiliki selera humor, itulah Tante Rike. Dan, untuk ukuran Nyonya Besar Sun Bakery yang notabenenya adalah istri pengusaha besar yang sukses, Tante Rike termasuk orang yang sederhana dan rendah hati.
****
            Keluargaku cukup lama berbincang dengan Arya dan Tante Rike. Pukul sepuluh tepat kami sampai di rumah. Aku pun bergegas menuju kamar mandi dan mengisi bathtub dengan air hangat. Gila saja jam segini aku mau mandi dengan air dingin.
            Seusai mandi aku tidak langsung tidur. Aku menyiapkan segala sesuatu untuk MOPD hari kedua besok. Saat melihat smartphoneku, aku melihat ada dua pesan masuk dari nomor tak dikenal. Aku pun membukanya.
            From   : 082225678765
            Malam Keke J
            From   : 082225678765
            Aku Arya =D
            Dasar Arya, dua pesan dan hanya seperti itu isinya. Benar-benar aneh. Sejak awal mengenalnya dia memang sangat aneh, tapi keanehannya itu bukannya membuatku illfeel, tapi selalu membuatku tertawa.
            To        : 082225678765
            Dasar cowok aneh! Kuker yaa kamu :p
            Akhirnya aku tidak jadi tidur, malah smsan dengan Arya hingga pukul sebelas tepat.
            To        : Arya
            Eh, udah malem. Aku tidur dulu yaa J Malam, Arya ;;)
            Aku pun mengakhiri perbincangan gokil kami dan beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga agar siap menghadapi MOPD besok.
****
            Dua minggu sudah aku berada di SMA Tunas Harapan. Temanku bertambah, apalagi setelah aku mengikuti ekskul PMR dan PA. Dan sekarang, aku sedang dekat dengan seorang pria. Do you know who I mean? Pasti kalian akan menebak Arya. Tapi bukan, saat ini aku tengah dekat dengan Bima. Yah, pria berkacamata itu.
            Sebenarnya aku dekat dengan semua temanku di kelas, tapi ada yang berbeda dengan Bima. Dari pertama bertemu aku sudah tertarik padanya. Dan Bima, semoga dia juga begitu terhadapku, haha.
            Sudah empat hari ini aku berangkat dan pulang sekolah bersama Bima. Terkadang dia juga di rumahku sampai malam untuk mengerjakan tugas bersama. Tapi Bunda membatasi sampai jam sembilan dan menyuruh Bima pulang tidak terlalu malam.
            Pagi ini aku menunggu Bima di depan pintu pagar. Ayah sudah berangkat dari tadi karna untuk urusan antar jemput sekarang diserahkan pada Bima. Tapi sepertinya hari ini Bima datang terlambat. Dan benar, pukul 6.35 dia baru sampai rumahku, padahal biasanya kita berangkat pukul 6.20.
            “Kenapa telat, Bim?”, tanyaku.
            “Maaf, Ke. Tadi bannya bocor di jalan. Untung tambal bannya profesional, jadi cepet masang bannya.”, jawabnya.
            “Syukurlah, aku tadi khawatir sama kamu, tau!”, balasku.
            “Ah, gombal deh kamu.”, balas Bima sambil menjulurkan lidahnya.
            “Ayo buruan naik. Keburu telat, lho.”, sambungnya.
            “Iya cakep.”, aku pun segera menaiki motornya.
****
            Sesampainya di kelas, aku merasa heran karena tidak ada tas satu pun. Ke mana teman-temanku? Saat aku sedang bingung mencari mereka, tiba-tiba Bima memegang tanganku dan menuntunku ke depan kelas.
            “Ke, aku tahu kita baru kenal dua minggu. Dan kita juga belum lama dekat. Tapi, aku nggak mau menunggu lama untuk menyatakan perasaanku ke kamu. Kamu mau nggak jadi pacarku?”, kemudian Intan dan Ayu masuk dan memberiku bunga serta sebuah bingkisan.
            Deg! Bima, nembak aku? Aku nggak tahu mesti jawab gimana.
            “Terima, Ke!”, seloroh Intan.
            “Jangan kecewain kita! Kita udah terlibat kayak gini lho.”, sahut Ayu.
            “Ayo terima!”, teriak teman-temanku yang lain.
            Aku yakin pipiku pasti sudah semerah tomat sekarang. Tapi memang harus aku akui aku juga merasakan apa yang Bima rasakan.         
            “Mm, iya Bim. Aku mau jadi pacar kamu!”, aku pun memantabkan jawabanku disusul tepuk tangan dari teman-temanku.
            “Alhamdulillah, makan gratis!”, seloroh Yuda.
            “Ada hikmahnya uang sakuku tadi ketinggalan.”, sahut Neta.
            Teman-temanku yang lain pun menagih PJ pada kami. Kemudian, Arya muncul dan menyalami kami, “Selamat ya, Ke. Semoga kamu bahagia.”, katanya dengan nada yang aneh. Bukan, bukan aneh seperti Arya biasanya. Ada yang janggal darinya. Bukannya aku GR, tapi sejak aku dekat dengan Bima, ada yang berubah dengan sikap Arya terhadapku. Dia menjauh, tidak seperti dulu saat kita pertama bertemu. Apa mungkin, dia cemburu? Tapi, dia sama sekali tidak pernah menyatakan apa pun padaku, dan apa aku salah kalau aku lebih memilih Bima? Ini perasaanku, tak bisa diubah begitu saja.
****
            Hari-hariku semakin berwarna dengan Bima. Minggu pertama kami jadian, Ayah dan Bunda mengajak Bima ke taman kota. Memang ramai, tapi setidaknya masih hijau dan asri, serta bebas polusi.
            “Ke, main ayunan yuk?”, ajak Bima.
            “Ayo!”, sahutku seraya berdiri.
            “Bun, Keke sama Bima main ayunan, ya!”, kataku pada Bunda.
            “Iya, hati-hati ya sayang! Bima, jaga gadis manis Tante, ya!”, pesan Bunda.
            “Iya, Tante. Keke pasti selamat sampai sini nanti.”, balas Bima dengan acungan jempol dan kerlingan matanya.
            “Bunda lebay, deh! Keke sama Bima kan cuma mau main ayunan sampai segitunya.”, sahutku.
            “Haha, sudahlah Ke. Aku kan emang harus jagain kamu. Ayo!”, timpal Bima seraya menggandeng tanganku dan berjalan menuju ayunan.
****
            Hapeku berbunyi saat aku sedang mengerjakan tugas. Satu pesan dari Arya.
            From   : Arya
            Malam, Ke. Boleh ngobrol bentar? :D
            Haha, si Aneh satu ini kembali. Rasanya kangen tidak pernah melihatnya seperti ini lagi.
            To        : Arya
            Apa cowok aneh ? :p
            Akhirnya kami pun smsan.
            Arya    : Kok cowok aneh sih ? --“
            Aku      : Biarin, emang kamu aneh kok :p
            Arya    : Bzz --“ iyadeh terserah kamu :p
            Aku      : Haha :D Eh, mau ngomong apa? J
            Arya    : Mm, jangan marah yaa kalo aku ngomong kayak gini tiba2 J
            Aku      : Esetdah mau ngomong apa sih ini anak --“
            Arya    : Aku sayang kamu, Ke J
            Deg! Apa maksud pesan dari Arya? Aku nggak tahu aku harus gimana. Sebenarnya, ada perasaan senang di hatiku di samping perasaan takutku. Aku juga ingat kalau aku adalah pacar Bima. Ya Tuhan, aku harus bagaimana. Aku pun membalas dengan agak bercanda.
            Aku      : Haha, alay kamu :p
            Arya    : Aku serius, Ke ._.v
            Aku      : Maksud kamu? *akuduarius
            Arya    : Dari awal kita kenalan, ada yg beda dr kamu. Aku suka kamu J
            Aku      : Suka?
            Tidak ada balasan lagi, aku semakin takut sekarang, apalagi saat Bunda mengetuk pintu kamarku.
            “Ke, ada Arya di luar. Bunda suruh masuk nggak mau, samperin gih!”, kata Bunda.
            Deg! Arya, apa yang kamu lakukan? Aku bingung, aku takut untuk keluar, tapi aku harus keluar. Setelah cukup lama mematung, akhirnya aku pun keluar menemui Arya.
            Ternyata dari tadi dia sudah di depan rumahku. Dia menunggu di mobilnya. Dan saat aku keluar, dia pun keluar dari mobilnya.
            “Kamu kok bisa sampai sini, Ar?”, tanyaku dengan sedikit canggung.
            “Ke, aku cuma pengin bilang, kalo aku sayang kamu! Dari awal kita bertemu, saat kita baris bersebelahan, saat aku meminta nomor hapemu, saat keluarga kita makan malam bersama, dan semua yang telah kita lalui bersama sebelum kamu dekat dengan, Bima. Aku merindukan saat-saat itu. Aku, cinta kamu Ke!”, kalimat terakhir Arya membuat jantungku serasa berhenti berdetak.
            “Arya, kamu tahu kan aku sudah punya pacar?”, kataku gugup. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi memang ada yang aneh padaku. Selama ini aku juga merindukan sosok aneh yang sekarang berdiri di depanku. Tapi, aku adalah pacar Bima, dan aku sayang Bima.
            “Apakah kamu yakin dengan perasaanmu pada Bima, Ke?”, sambung Arya.
            “Maksud kamu apa sih Ar? Kenapa kamu tanya kayak gitu? Jelas-jelas Bima pacarku, yah pasti aku yakin lah sama perasaanku ke dia! Kalau nggak ngapain dulu aku terima dia?!”, balasku dengan nada naik dua oktaf.
            “Apa kamu nggak ada perasaan sedikit pun ke aku, Ke? Bahkan saat kita sering bersama dulu?”, tanya Arya lagi, dengan nada memelas yang membuatku miris.
            “Mana mungkin aku ada perasaan sama kamu? Aku cuma nganggap kamu sahabat!  Lebih baik sekarang kamu pulang, tenangin diri kamu, buang jauh-jauh pikiran gilamu!”, bentakku sembari membalikkan badan dan berlari memasuki rumah tanpa menghiraukannya lagi.
            Aku berlari menuju kamar sambil menangis. Bunda yang melihatku bergegas mengikutiku.
            “Keke, kamu kenapa sayang?”, tanya Bunda sambil membelai lembut rambutku.
            Aku pun memeluk Bunda sambil menangis tersedu sedan.
            “Bunda, Keke mesti gimana? Arya bilang, kalau Arya suka sama Keke.”, kataku sambil terisak.
            “Sayang, pilihan ada di tangan kamu. Kamu yang tahu pasti jawabannya. Bunda harap, kamu tidak mengecewakan Arya maupun Bima. Bunda tidak ingin, anak Bunda yang cantik ini menyakiti hati pria sebaik Arya dan Bima.”, jelas Bunda.
            “Tapi, Keke bingung Bunda. Keke sayang Bima, Bima pacar Keke. Tapi sejak Keke dulu dekat sama Bima, Arya menjauh dan rasanya Keke kangen sama Arya.”, kataku setelah mulai bisa menenangkan diri.
            “Sayang, kamu jujur sama Bunda. Siapa yang menurutmu lebih bisa membuatmu nyaman? Arya, atau Bima?”, tanya Bunda.
            “Keke bingung, Bunda. Dua-duanya baik, dua-duanya membuat Keke merasa nyaman.”, jawabku.
            “Tapi hati kecilmu pasti hanya menyebut satu nama sayang. Tanpa kamu melihat dari segi apapun, siapa yang menurutmu lebih cocok bersamamu, tanpa alasan?”, lanjut Bunda.
            “Arya mungkin.”, balasku spontan.
            “Kamu lebih memilih Arya daripada Bima. Kenapa tidak dari dulu, sayang?”, ujar Bunda sembari memelukku.
            “Keke bingung, Bunda. Keke merasa nyaman saat bersama Bima. Bima baik banget kalo sama Keke. Keke nggak pengin nyakitin Bima.”, kataku kembali terisak.
            “Sebelum Bima terlanjur lebih sakit lagi, kamu harus mengatakan semuanya sayang.”, ujar Bunda.
            “Tapi, Keke takut Bunda.”, balasku.
            “Keke harus bertanggungjawab, sayang. bunda selalu mendoakan yang terbaik untuk Keke.”, kata Bunda seraya memelukku.
            “Sekarang Keke tidur dulu. Besok kan Keke mesti sekolah. Selamat tidur sayang, mimpi indah ya.”, sambung Bunda seraya mengecup keningku dan menuntunku ke tempat tidur.
****
            Hari ini ada yang berbeda. Aku tak seceria biasanya saat Bima menjemputku. Tak heran dia pun menanyaiku.
            “Kamu sakit, sayang?”, tanyanya saat kami sedang menuju sekolah.
            “Nggak, lagi males ngomong aja.”, jawabku singkat.
            “Kenapa?”, lanjut Bima menginterogasiku. Sepertinya dia memang sudah merasa kalau ada yang aneh dariku.
            “Nggak apa-apa, Bim. Lagi males aja.”, balasku.
            “Males kenapa?”, tanyanya lagi.
            “Nggak tau. Udah ah, aku males ngomong.”, ujarku menutup pembicaraan kami.
****
            Di kelas aku duduk tepat di belakang Arya.
            “Pagi, Ke.”, sapa Arya dengan senyum manisnya.
            Senyum itu, senyum yang telah lama tak kulihat. Jantungku berdesir cepat melihat senyum itu. Ups! Aku harus buru-buru menepis pikiran nakalku. Aku sudah punya Bima, aku tak boleh melukainya.
            “Eh, hai Ar!”, balasku datar, mencoba mengatur detak jantungku yang kian menggila.
            “Kamu, cantik hari ini.”, lanjutnya dengan santai.
            Deg! Aku semakin tak bisa mengatur detak jantungku. Kali ini pujian Arya membuatku melayang. Apa yang terjadi padaku?
            “Hey! Jangan bengong! Ngefly ya dibilang cantik sama cowok sekeren aku?”, seloroh Arya.
            “Iya! Eh! Apaan sih kamu, Ar! PD banget deh!”, balasku gelagapan sembari menjitak Arya.
            “Haha, keceplosan. Aku tau, kamu suka aku! Matamu nggak bisa bohong, Ke.”, selorohnya sambil mengerlingkan matanya.
            “Heh! Apaan sih kamu, aku pacarnya Bima!”, sahutku sambil menjulurkan lidah dan meninggalkan tempat dudukku menuju Neta.
            Ada perasaan tidak ikhlas saat aku mengatakan “Aku pacar Bima”. Entah kenapa, aku merasa perasaanku ke Bima berkurang tiba-tiba setelah pengakuan Arya semalam. Ya Tuhan, kenapa aku jadi kayak gini? Aku benar-benar merasa bersalah pada Bima. Tapi, bagaimana ini?
****
            Hari ini seharian aku nyuekin Bima. Aku benar-benar merasa bersalah padanya. Bahkan saat pulang sekolah aku menolak ajakan Bima makan keluar.
            “Makan dulu yuk, Ke?”, ajak Bima.
            “Nggak mood, Bim.”, balasku singkat.
            “Kamu kenapa sih? Dari tadi pagi kayaknya nggak mood gitu kalo sama aku.”, lanjutnya.
            “Nggak apa-apa, Bim. Aku lagi males aja hari ini.”, sambungku.
            “Serius kamu nggak kenapa-kenapa?”, tanyanya lagi.
            “Iya, aku nggak kenapa-kenapa.”, jawabku dengan seulas senyum, terpaksa.
****
            Sampai di rumah aku terkejut melihat sosok yang duduk di ruang tamu, Arya!
            “Malam, Ke.”, sapanya dengan senyum manisnya seperti biasa.
            Kali ini aku benar-benar tak lagi bisa mengatur detak jantungku. Desiran halus itu kembali terasa.
            “Eh, Arya. Ada apa kok malam-malam ke sini?”, tanyaku dengan sedikit gugup setelah berhasil mengendalikan detak jantungku.
            “Aku mau ngomong.”, lanjutnya.
            Tanpa dikomando aku pun menghampirinya dan mengambil tempat duduk tepat di sebelahnya.
            “Ke, kamu tau kan kalo aku sayang kamu? Aku mau kamu jujur, Ke. Kamu menyukaiku, kan?”, sambungnya tanpa basa basi.
            Aku benar-benar gugup mendengar pertanyaan Arya. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Setelah lama mematung aku pun mulai berbicara.
            “Mm, aku nggak tau, Ar. Tapi ada yang aneh tiap aku melihat senyummu. Dan, sejak kamu menjauhiku dulu, aku selalu merindukan keanehanmu. Mungkin, aku memang menyukaimu Ar.”, ujarku.
            “Tapi, bagaimana dengan Bima?”, sambungku.
            “Kamu, harus mutusin dia.”, timpal Arya enteng.
            “Kamu bisa ngomong semudah itu, tapi sulit buatku ngelakuinnya!”, balasku.
            “Terus, kamu mau nyelingkuhin dia gitu?”, lanjut Arya.
            “Aku nggak tahu, Ar. Mungkin kita gini aja sekarang.”, jawabku.
****
            Hari-hari berikutnya hubunganku dengan Bima semakin merenggang. Dan Arya, semakin sering mengajakku keluar. Bunda hanya mengingatkanku agar aku segera jujur pada Bima, tapi aku selalu menjawab kalau aku terlalu takut dan masih menunggu waktu yang tepat.
            Ya Tuhan, bantulah aku. Aku benar-benar tidak tega pada Bima. Aku merasa kasihan padanya. Masih ada rasa untuknya, tapi perasaanku lebih besar pada Arya.
****
            Hari ini aku berangkat lebih pagi karna aku tidak ingin berangkat bersama Bima. Hari ini aku pergi ke sekolah bersama Ayah.
            Di sekolah, Bima pun menanyaiku.
            “Kamu kok berangkat duluan sih, Ke?”, tanyanya.
            “Nggak apa-apa. Aku lagi pengin berangkat sama Ayah, Bim. Udah lama nggak bareng Ayah.”, jawabku.
            “Kenapa nggak ngabarin aku? Tadi malem juga aku telfon kamu nggak diangkat? Kamu kenapa sih, Ke?”, kejar Bima dengan nada meninggi.
            “Bim, ini kelas! Jangan kayak anak kecil gitu dong! Kita pacaran bukan berarti kita harus bareng terus kan? Aku juga pengin menikmati hariku sama keluargaku!”, balasku sewot seraya bergegas meninggalkannya.
****
            Aku menangis di taman sekolah. Aku merasa bersalah pada Bima. Aku benar-benar takut untuk jujur padanya. Aku takut melukai hatinya.
            Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku.
            “Kalo nangis cantiknya hilang, lho.”, suara Arya. Aku pun mendongak dan ternyata benar dia.
            “Arya. Aku takut. Aku berantem sama Bima.”, balasku lirih.
            “Kamu harus segera jujur padanya, Ke.”, sambungnya seraya membelai puncak rambutku.
            “Tapi, aku nggak tega!”, balasku sambil terisak.
            Arya menggenggam tanganku dan masih berusaha menenangkanku. Hingga tiba-tiba terjadi satu hal yang sangat tak terduga.
            “Jadi, karna Arya?”, tiba-tiba Bima telah berdiri di depan kami.
            “Bim, aku bisa jelasin.”, sahut Arya dengan tenang.
            “Nggak ada yang perlu dijelasin! Jadi selama ini kamu kayak gini di belakangku, Ke? Jadi ini alasanmu sebenarnya kenapa kamu nyuekin aku?!”, sambung Bima.
            “Kamu jangan kasar sama cewek ya, Bim!”, Arya siap melayangkan pukulannya ke arah Bima.
            Aku pun segera mencegahnya, “Ar, biar aku yang bicara.”, sahutku.
            “Bima, aku minta maaf.”, kataku lirih.
“Maaf?! Segampang ini kamu minta maaf setelah kamu nyakitin aku, Ke?”, balasnya marah.
“Aku benar-benar nggak bermaksud buat nyakitin kamu. Perasaan ini datang tiba-tiba Aku sayang kamu. Tapi nggak tahu kenapa aku bisa sayang Arya melebihi rasa sayangku ke kamu. Aku minta maaf, Bim.”, lanjutku, masih terisak.
“Kalo kamu emang lebih milih Arya, kita putus! Jangan ganggu aku lagi!”, balasnya kasar kemudian berlalu.
“Bima!”, teriakku.
Aku bangkit hendak mengejarnya tapi Arya mencegahku.
“Beri dia waktu untuk sendiri. Nanti kita ajak bicara lagi.”, kata Arya dengan tenang.
****
            Semalaman aku mengurung diri di kamar. Sudah berulangkali aku mencoba untuk menghubungi Bima, tapi tetap tidak ada respon.
            “Sayang, boleh Bunda masuk?”, tanya Bunda dari balik pintu.
            Aku hanya terdiam. Bunda pun membuka pintu kamarku yang memang tidak terkunci.
            “Kamu sudah bicara sama Bima?”, tanya Bunda.
            “Bima marah sama Keke, Bun.”, jawabku lirih.
            “Beri waktu buat dia, sayang. Yang penting sekarang kamu sudah jujur. Bima pasti akan nerima.”, lanjut Bunda sembari memelukku.
****
            Hari demi hari berlalu. Tiga bulan sudah aku jadian dengan Arya. Bima, sepertinya dia masih segan denganku. Tapi aku mencoba bersikap biasa padanya. Hanya saja, hingga sekarang masih ada sebersit perasaan padanya.
            Malam ini Neta merayakan ulang tahunnya yang ke-enam belas. Arya berjanji akan menjemputku pukul tujuh. Sudah lima belas menit aku menunggunya, tapi dia tak kunjung tiba.
            “Kamu sudah coba hubungi dia lagi, sayang? Sudah berangkat apa belum?”, tanya Bunda yang melihatku sedari tadi menunggu di ruang tamu.
            “Nggak tau, Bun. Keke udah hubungin Arya dari tadi tapi nggak ada respon.”, jawabku.
            “Mungkin sudah di jalan. Kamu tunggu saja, ya.”, lanjut Bunda kemudian meninggalkanku.
            “Iya Bunda sayang.”. balasku.
            Aku mulai merasa tidak enak setelah setengah jam Arya tidak kunjung datang. Aku pun memutuskan untuk menghubungi Tante Rike.
            Aku                  : Malam Tante.
            Tante Rike       : Iya, sayang. Ada apa?
            Aku                  : Keke mau tanya, Arya sudah berangkat?
            Tante Rike       : Lho, Arya sudah keluar empat puluh lima menit yang lalu. Harusnya dia sudah sampai rumahmu setengah jam yang lalu kan?
            Aku                  : Tapi, Arya belum sampai rumah Keke, Tante. Ya sudah, mungkin macet di jalan kali. Makasih Tante.
            Tante Rike       : Tolong kalo ada apa-apa kabarin Tante ya, sayang.
            Aku                  : Iya, Tante. Malam Tante, makasih.
            Tante Rike       : Iya, sayang.
            Tak berapa lama ponselku kembali berdering.
            No Name         : Halo, dengan saudara Keke?
            Aku                  : Iya, saya sendiri.
            No Name         : Kami dari pihak RSCM. Apakah benar Anda kerabat dari saudara Arya?
            Deg! Telepon dari rumah sakit. Ada apa dengan Arya?
            Aku                  : Iya, saya pacar Arya. Ada apa dengan Arya?
            No Name         : Saudara Arya mengalami kecelakaan. Anda bisa kemari sekarang bersama keluarga korban?
            Aku                  : Baik, kami akan segera kesana
            Aku pun segera menghubungi Tante Rike dan menuju rumah sakit bersama Ayah dan Bunda. Aku benar-benar merasa tidak enak. Apa yang terjadi pada Arya? Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi, pikiranku ke mana-mana.
****
            Sesampainya di rumah sakit kami segera menanyakan di mana Arya berada.
            “Sus, korban kecelakaan Bayu Arya Wijaya sekarang di mana?”, tanya Tante Rike dengan air mata bercucuran.
            “Bu, kami harap Anda bisa bersabar dan menerima semuanya. Saudara Arya kehabisan banyak darah dan tidak bisa diselamatkan.”, suster itu menjelaskan dengan sangat hati-hati.
            Deg! Apa yang barusan dikatakan suster ini membuat benteng pertahanku jebol seketika. Aku menangis sejadi-jadinya di rumah sakit, tak lagi mempedulikan keadaan sekitar. Ayah mencoba menenangkanku, sedangkan Bunda berusaha menenangkan Tante Rike yang tak kalah histeris kehilangan anaknya.
            Aku benar-benar tak menyangka sosok yang amat kusayangi pergi dalam waktu sesingkat ini. Bahkan saat hubungan kami baru berjalan tiga bulan.
            Aku benar-benar tak kuat melihat jenazah Arya. Tante Rike malah sudah pingsan sejak masuk ruang jenazah. Bunda masih menjaga Tante Rike, sedangkan Ayah dan Om Wijaya mengurus mobil Arya dan truk yang menabraknya. Bima, justru yang sekarang menemaniku!
            “Ke, yang sabar ya! Aku tau, kamu pasti sedih banget kehilangan Arya. Dia teman yang baik. Semoga dia diterima di sisi-Nya. Kamu jangan sedih dong, nanti kalo kamu sedih Arya kan juga ikut sedih.”, hibur Bima.
            “Makasih, Bim. Kamu baik banget.”, balasku sambil terisak.
            Seketika itu juga Bima memelukku. Aku tak bisa menahannya, aku terisak dalam pelukannya.
****
            Keesokan harinya, pemakaman jenazah Arya dilaksanakan. Keluarga besar Arya, keluargaku, dan teman sekelasku memenuhi pelataran rumah Arya.
            Sejak tadi malam Bima menemaniku. Dia bahkan menginap di rumahku. Hari ini dia ikut mengangkat keranda Arya. Kami bersama-sama mengantar Arya hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya pukul sepuluh pagi.
            Kini aku sudah bisa lebih ikhlas melepaskan Arya. Setiap ada pertemuan pasti memang ada perpisahan. Awal selalu memiliki akhir. Hidup pasti berakhir dengan mati. Jika memang ini sudah waktunya Arya kembali ke hadapan Penciptanya, Tuhan pasti punya rencana lain untukku.
****
            Setelah kepergian Arya, tentu saja aku tidak terus menerus terpuruk dalam kesedihan. Arya menjadi kenangan terindah untukku. Dan sekarang, aku kembali bersama Bima. Mungkin memang ini yang telah Tuhan rencanakan untukku. Arya tetap tersimpan di hatiku, aku menyayanginya hingga saat ini. Dan Bima, telah mengajarkanku arti sebuah kesetiaan.
            Tepat tujuh tahun yang lalu, adalah ulang tahun Neta yang ke enam belas. Nanti malam akan diadakan pengajian untuk memperingati tujuh tahun kepergian Arya. Dan sore ini, aku bersama Bima mengunjungi makam Arya.
            “Selamat sore, Arya. Apa kabar? Kami harap kamu baik-baik saja di sana.”, ujarku.
            “Hai, Ar! Minggu depan kami akan mengadakan pesta pertunangan.”, sahut Bima.
            “Doakan semoga acara kami lancar ya, Ar!”, sambungku.
            “Haha, sebenarnya kami juga ingin kamu ada di acara kami nanti, Ar. Tapi, Tuhan telah menempatkannmu di tempat yang lebih baik sekarang.”, lanjutku.
            “Arya, perlu kamu tahu. Aku sayang kamu hingga saat ini. Aku sangat menyayangimu.”, lanjutku lagi.
            “Kami menyayangimu, Ar!”, timpal Bima.
            Setelah cukup lama berkunjung di makam Arya, aku dan Bima pun menuju ke rumah Tante Rike untuk membantu mempersiapkan pengajian malam ini.
****
            Arya dan Bima. Dua sosok pria yang aku cintai, dan aku miliki. Arya tersimpan di hatiku, dan akan selalu di hatiku hingga aku menyusulnya nanti. Bima, pemilik hatiku saat ini, pria yang sangat setia menemaniku hingga hari ini. Mereka memiliki tempat di hatiku, dan mereka akan menjadi kenangan terindah di hidupku.
****
           

Well, actually I made this story when I was in Senior High School, that was Indonesian assignment in 2013. Wow, 3 years ago and I just wanna share it now. Hope you enjoy reading it!

Satu Bulan Internsip

Hola, ternyata sudah satu bulan tidak menulis. Padahal terlalu banyak kegelisahan-kegelisahan yang dialami dalam satu bulan ini, haha. Tap...