Halaman

Sabtu, 26 September 2020

Belum Nikah tapi Sok-Sokan Ngomongin Anak

Anak siapa yang mau diomongin? Bukan anak siapa-siapa kok, mau ngomongin aku waktu masih anak-anak dan juga harapanku untuk anak-anakku nanti. Hehe.

Disclaimer. Apapun dan bagaimanapun pola asuh orangtua, setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk buah hati mereka. Mengasuh anak itu pembelajaran seumur hidup, selamanya belajar. Jadi, tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Hanya perlu evaluasi dan perbaikan serta implementasi yang sesuai dan kecocokan dengan masing-masing individu.

Bagaimana aku dibesarkan? Bisa dibilang, orangtuaku mendidikku untuk disiplin dan tekun. Sejak kecil aku diarahkan untuk ikut banyak bimbel dan berbagai kompetisi. Aku selalu rangking di kelas, aku ikut lomba Pesta Siaga, aku ikut lomba matematika, dan nggak ketinggalan juga aku ikut lomba agama, hehe.

Mungkin saat itu aku masih terlalu kecil dan terlalu muda untuk bertanya, kenapa aku melakukan semua itu. Aku tidak pernah mencari tahu kenapa aku harus mengambil jalan itu. Jadi mungkin karna aku tidak bertanya, maka tidak ada pula yang memberi tahu atau menanyaiku kenapa aku harus begini dan kenapa aku harus begitu. Aku hanya mengikuti template, menjalankan apa yang diarahkan orangtuaku tanpa bertanya. Hal ini cukup berdampak ketika aku memasuki bangku kuliah. Aku tidak tahu kenapa aku kuliah di jurusan kedokteran, aku hanya mengikuti trend, aku tidak tahu aku akan jadi apa nantinya, dan banyak ketidaktahuan lainnya.

Apa yang ingin kulakukan untuk anakku nanti. Aku tidak ingin menunggu anakku bertanya, atau yang lebih fatal aku tidak ingin menunggu sampai anakku mengalami ketidaktahuan sepertiku. Aku ingin menanyakan kepada mereka terlebih dahulu apa yang mereka inginkan nantinya, atau menanyakan apakah mereka menyukai apa yang mereka lakukan. Ya, karna aku tidak banyak bertanya dan tidak banyak ditanyai pada saat aku kecil dulu, aku tidak ingin hal itu terjadi pada anakku nanti. Aku ingin anakku melakukan apa yang benar-benar mereka sukai, dan mereka tahu alasan dari apa yang mereka lakukan. Apa yang aku bisa lakukan adalah memberitahukan kepada mereka apa konsekuensi-konsekuensi dari pilihan mereka itu sehingga mereka memiliki tujuan hidup yang jelas dan bertanggungjawab atas tujuan dan pilihan mereka sendiri.

Kembali dengan aku di masa anak-anak. Aku yang notabene-nya selalu rangking dan banyak mengikuti perlombaan, tapi tidak pernah mempertanyakan kenapa dan untuk apa. Kondisi ini terus bertahan hingga aku berumur, dan bisa dikatakan sampai sekarang pun aku jarang mempertanyakan hal-hal yang terjadi di sekitarku. Yap, menurutku aku kurang bisa mengkritisi fenomena-fenomena yang terjadi di sekeliling. Aku sangat jarang bicara di depan umum secara spontan untuk mengutarakan pendapat, uneg-uneg, dan opini yang ada di kepalaku. Uniknya dan ironisnya, hal ini seperti lingkaran setan. Aku tidak percaya diri untuk mengutarakan pendapatku karna telalu banyak hal yang aku khawatirkan padahal aku belum mencoba. Hal ini (ketidakmampuanku mengutarakan pendapat) lalu membuatku makin kehilangan rasa percaya diri karna merasa kurang smart dan tidak bisa mengikuti pembicaraan orang-orang. Siklus itu terus berputar sehingga terciptalah pengecut yang diam saja dan hanya meng-iyakan apa kata orang.

Tentu saja aku tidak ingin hal itu terjadi pada anak-anakku kelak. Aku ingin menjadi ibu yang secara aktif mengajak anak-anakku berdiskusi sedini mungkin, mulai dari pecakapan remeh temeh hingga hal-hal serius. Aku ingin membiasakan anak-anakku untuk berpikir kritis sedari kecil. Aku ingin menjadi ibu yang selalu mendengarkan apa pendapat anakku, berusaha untuk tidak judgmental, menganggap semua yang mereka utarakan itu penting, dan tidak mengabaikan obrolan mereka. Ya, menurutku untuk bisa memunculkan pemikiran kritis perlu dimulai dari mendengarkan dan menghargai apa yang diutarakan. Apabila sejak masih kanak-kanak kita tidak terbiasa mengutarakan pendapat, atau bahkan apabila pendapat kita diabaikan bahkan ditentang, hal tersebut akan menurunkan semangat dan rasa percaya diri kita, sehingga kita jadi enggan untuk buka suara di masa yang akan datang, apalagi untuk bisa memunculkan pikiran-pikiran kritis dan logis.

Demikianlah, aku di masa anak-anak, dan harapanku untuk anak-anakku kelak. Semoga aku bisa terus belajar untuk menjadi diriku yang terbaik dan juga ibu yang baik nantinya.

Jumat, 18 September 2020

Kuliah Kedokteran dan Tips Belajar ala Aku

Tulisan ini dibuat hanya untuk besenang-senang mengisi waktu luang di masa pandemi. Bahkan sebenarnya tulisan ini sudah tidak relevan karena ditulis saat penulis sudah tidak duduk di bangku kuliah lagi alias sudah lulus.

Aku masuk ke Fakultas Kedokteran di sebuah perguruan tinggi negeri pada tahun 2014, 6 tahun yang lalu. Boleh dibilang tepat 6 tahun karna aku benar-benar mulai masa perkuliahan tanggal 1 Spetember 2014. Pada saat itu aku benar-benar tidak memiliki gambaran seperti apa dan bagaimana kuliah di kedokteran. Aku tidak memiliki teman ataupun kerabat yang sudah di bidang ini sebelumnya, dan aku juga tidak memiliki hubungan yang dekat dengan seniorku di masa SMA untuk ditanya-tanya jadi ya, benar-benar buta arah.

Singkat cerita, 2 minggu awal perkuliahan masih seputar pengenalan sistem pembelajaran di jurusan ini. Sistem perkuliahan SKS yang biasanya digunakan oleh jurusan dan fakultas lain tidak belaku disini. Fakultas Kedokteran khususnya Prodi Pendidikan Dokter menerapkan sistem blok atau “paketan” istilah gampangnya, dimana dalam 6 minggu (durasi ini berbeda di setiap universitas) kita akan belajar satu tema besar (missal: sistem pencernaan). Selama 6 minggu tersebut kita akan mendapat kuliah umum, praktikum klinis, skills lab (keterampilan dalam menghadapi pasien), tutorial kasus, dan ujian praktikum maupun ujian blok di minggu kelima dan keenam.

Kegiatan yang khas dari sistem blok ini adalah tutorial kasus, dimana kita akan mendiskusikan satu kasus bedasarkan subtema tertentu, brainstorming mengenai kasus tersebut, hingga memunculkan PR yang akan dibahas di pertemuan berikutnya (masih dalam minggu yang sama). Kegiatan ini tentunya memicu kita untuk berpikir kritis dan logis karna pada pertemuan kedua saat membahas PR, kita diharuskan menyertakan sumber-sumber yang valid dan logis. Selain itu, ujian blok yang dilakukan di minggu keenam disajikan dalam bentuk CBT, hal ini juga untuk membiasakan kita mahasiswa kedokteran yang nantinya akan menjalani ujian akhir untuk mendapat gelar dokter yang juga dalam bentuk CBT.

Oke, kembali ke ceritaku. Aku tidak memiliki pegangan apapun selama masa perkuliahan. Aku tidak memiliki plan apapun dalam belajar, aku bahkan belum menemukan cara belajar terbaikku saat aku masih duduk di bangku S1. Aku hanya mengikuti arus, dan belajar sekedar untuk lulus ujian blok minimal mendapat nilai A/B (setara dengan IP 3,5). Hal menyenangkan dari kuliah di jurusanku adalah persentase terbesar dari nilai blok (1 blok terdiri dari 6 minggu dan setara dengan 6 SKS) adalah ujian CBT, dan apabila kita mendapat nilai ujian CBT mulai dari B ke bawah, kita mengenal yang namanya Make Up Test. Ini bukan kelas make up kecantikan, melainkan istilah yang lebih kece dari ujian remidi. Serunya lagi, pada saat angkatanku soal-soal Make Up Test (MUT) ini 70-80% sama persis dengan soal CBT sebelumnya dan kita bisa mendapat nilai maksimal A/B pada MUT pertama dan maksimal B pada MUT kedua (aku tidak tahu untuk MUT selanjutnya). Jadi sudah menjadi tradisi turun temurun bagi kami untuk merekap soal CBT agar meringankan beban teman-teman yang menjalani MUT. Tapi rumor yang kudengar untuk angkatan-angkatan sekarang, soal MUT cukup berbeda dengan soal CBT utama. Lucky me! Hehe.

Tentu saja aku berkali-kali mengambil MUT sehingga aku bisa lulus dengan nilai memuaskan. Tapi aku merasa aku hanya menggelinding selama S1, tanpa mengetahui tujuan hidupku, tujuanku kuliah, untuk apa aku belajar, bahkan apa yang aku pelajari selama S1 tidak ada yang menempel di kepalaku. Aku hanya menggelinding tanpa arah. Menurutku, kuliah kedokteran tidak begitu berat jika kita konsisten dan cukup mengikuti arus. Karna begitulah faktanya. Kami bisa lulus tepat waktu jika kami mengikuti arus. Buktinya aku yang sampai lulus S1 masih tidak memiliki tujuan hidup tetap bisa lulus. Tapi yah, ini bukan hal yang patut untuk ditiru. Ada baiknya kalian yang baru memulai kuliah kedokteran untuk mementukan tujuan kalian belajar sedini mungkin dan belajar dengan sungguh-sungguh sedini mungkin, jangan asal lulus kaya aku.

Lalu bagaimana aku belajar? Seperti yang kubilang sebelumnya, karna aku hanya menggelinding dan mengikuti arus, aku baru mulai belajar di minggu kelima dari rangkuman materi kuliah umum (dalam bentuk semacam LKS yang diproduksi sendiri dari, oleh, dan untuk angkatan). Berbeda dengan teman-temanku yang rajin dan memang sudah memiliki tujuan hidup yang pasti sejak awal, mereka biasanya menyicil belajar dari minggu pertama, me-review berulang-ulang. Tapi sekali lagi karna di masa S1 tujuanku kuliah hanya agar lulus ujian blok, jadi aku memang baru belajar di minggu kelima, dan apabila nilaiku B kebawah aku tinggal mengambil MUT dan belajar dari rekapan soal. Ini pilihan. Sekali lagi, sebaiknya kita sudah menemukan tujuan hidup kita dan mempelajari materi S1 dengan sungguh-sungguh sedini mungkin, karna setelah masuk rotasi klinik (koas) aku baru menyesali semua yang telah terlewati di S1, menyesal karna tidak mempelajari materi S1 dengan sungguh-sungguh. Namun kita semua tahu, penyesalan memang selalu datang belakangan.

Kalian yang baru memulai masuk kuliah kedokteran, bisa dipikirkan baik-baik beberapa hal. Temukan cara belajar tebaik kalian. Aku baru tahu kalau aku adalah orang yang perlu effort banyak dalam belajar setelah memasuki rotasi klinik (koas) alias setelah lulus S1 - Oiya, untuk jadi dokter kita perlu sekolah 3,5 – 4 tahun S1 kemudian lanjut rotasi klinik 2 tahun baru deh ujian akhir untuk dapat gelar dokter)-. Aku harus mendengarkan materi sambil mencatatnya, aku harus membuat rangkuman sesuai pemahamanku sendiri berdasarkan apa yang sudah kudengarkan, lalu aku harus mengulangi membaca materi tersebut, kalau perlu sambil bicara sendiri (trust me, ketika kamu bisa menjelaskan materi dengan baik berarti kamu memang sudah menguasainya degnan baik pula). Jadi ya, ternyata aku butuh waktu yang lama untuk belajar karna cara belajar terbaikku ya begitu, sepanjang itu alurnya. Sedangkan saat S1, aku terlalu banyak leha-leha dan mulai belajar di minggu kelima. Tapi, aku juga memiliki teman yang walaupun dia baru mulai belajar di minggu kelima, dia bisa menyelesaikan materi yang sama denganku, memang tipe belajarnya cukup membaca sekali dan cepat, dan ingat semuanya secara ajaib. Ada juga temanku yang memang cara belajarnya harus membaca dicicil dan diulang sejak minggu pertama tapi nggak perlu mencatat. So yeah, temukan cara belajar terbaikmu sedini mungkin karna itu benar-benar membantu kamu mengerti dan mengingat materi kedokteran yang bejibun yang akan kamu recall saat koas nantinya.

Setelah menemukan cara belajar terbaik, kamu juga harus mengetahui suasana belajar terbaikmu. Apakah kamu harus belajar di tempat sunyi, atau kamu perlu musik untuk membantumu belajar, atau justru kamu harus belajar di suasana yang ramai. Selain itu, temukan teman belajar yang tepat untuk hasil yang optimal. Belajar besama kadang diperlukan di sekolah kedokteran terutama menjelang ujian CBT. Kita bisa saling berbagi materi misalnya dengan bergantian menjelaskan materi, sekaligus menyamakan persepsi terkait suatu topik dan materi. Selain mendapatkan pemahaman materi yang optimal, teman belajar juga bisa menjadi reminder agar kita tidak terlena dengan hingar bingar duniawi dan selalu ingat bahwa belajar kedokteran yang sungguh-sungguh (tidak hanya untuk lulus CBT) itu butuh effort.

Tips-tips yang sudah aku tulis di atas baru aku praktikan menjelang ujian akhir setelah koas untuk mendapat gelar dokter. Sudah sangat terlambat memang, tapi tetap saja lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan? Tapi untuk kalian yang baru mulai, trust me! Start from now! Karna pasti kalian akan menyesal kalau baru mulai kaya aku di masa akhir koas. 

Oke, karna aku sudah lelah menulis jadi cukup sekian coretan aku kali ini. Terima kasih!

Satu Bulan Internsip

Hola, ternyata sudah satu bulan tidak menulis. Padahal terlalu banyak kegelisahan-kegelisahan yang dialami dalam satu bulan ini, haha. Tap...