Halaman

Sabtu, 24 Oktober 2020

Apakah Aku Sudah Cukup Bersyukur

Bicara tentang bersyukur akan materi, beberapa waktu yang lalu aku sempat lupa dengan konsep bersyukur ini. Terkait pekerjaanku, yang sudah jelas di Indonesia ini gajinya masih di bawah standar intenasional. Banyak dari teman sejawat yang menggemborkan untuk meningkatkan gaji demi kesejahteraan kami terutama di masa pandemi yang mana beban kerja kami jauh lebih berat dan lebih besar. Namun setelah diskusi dengan seorang teman, dia bertanya “Apabila kondisinya sudah aman, mau gaji dikurangi lagi? Kalau sudah benar-benar aman dan tidak ada pasien sama sekali, mau tidak digaji?”

Setelah otakku bekeja cukup lama akhirnya aku paham bahwa dia berusaha membangunkanku. Aku yang terlena dengan hak yang ingin kutuntut akhirnya tersadar bahwa sejatinya kita hanya perlu lebih banyak bersyukur. Hal sekecil apapun yang Tuhan berikan pada kita patut disyukuri. Masalah gaji pun, bila itu memang sudah menjadi jatah rejeki kita pasti akan ada jalannya. Intinya, aku masih terus belajar untuk bersyukur dan nerimo.

Salah satu hal yang mungkin bisa membantu untuk belajar bersyukur adalah, membiasakan diri untuk hidup sederhana. Hal ini cukup berefek bagiku yang dibesarkan oleh keluargaku dengan sederhana. Aku tidak pernah dimanjakan dengan hal-hal fancy, aku tidak pernah diajarkan untuk hidup memenuhi gengsi. Hidup sederhana itu mengajarkanku untuk mau tidak mau menerima apa yang aku punya. Walaupun kadang ada keterpaksaan untuk menerima, dan kadang terbersit iri ketika memang sudah terbiasa dengan hidup seperti itu, aku sampai sekarang merasa tidak harus menjalani hidup di lingkungan sosial dengan gaya hidup tinggi. Berteman boleh dengan siapa saja, tapi tidak perlu sampai mengikuti gaya hidup teman yang jauh di atas kemampuan kita.

Hal lain yang bisa diterapkan dan mungkin cukup klise adalah, mengurangi penggunaan media sosial. Hal yang benar-benar bekerja padaku, terutama Instagram. Aku pernah kurang lebih enam bulan tidak membuka instagramku, saat itu aku tidak pernah memiliki kekhawatiran, tidak pernah merasa ingin sesuatu yang dimiliki temanku, tentunya karna aku tidak melihat apa yang mereka miliki yang biasa ditampilkan di Instagram. Karna jujur, ketika aku membuka Instagram pasti akan muncul sedikit rasa iri dan keinginan untuk memiliki apa yang orang lain miliki, yang kadang memang tidak sesuai dengan kemampuan kita sendiri.

Jadi, apakah aku sudah cukup bersyukur?

 

Rabu, 21 Oktober 2020

Sumpah

Sumpah

Walaupun dari rumah,

semoga tetap menjadi berkah,

dan dapat menjalankan amanah

Ini bukanlah akhir

Justru awal meniti karir

Tak hanya karir tapi juga pengabdian

Tak hanya tuk handai tolan,

tapi juga tuk kemanusiaan

Sebagai bakti pada almamater, nusa bangsa, juga Tuhan

Serta bakti tuk ilmu pengetahuan


Tribute to Pelantikan Dokter Periode I T.A. 2020/2021 FKKMK UGM, 13 Oktober 2020

Bismillah, semoga selalu menjadi dokter yang amanah


Sabtu, 17 Oktober 2020

Nerimo ing Pandum

Masih dalam episode bersyukur.

Tidak pernah merasa puas, itu hal yang sangat manusiawi. Tapi terkadang ketidakpuasan itu bisa membawa kerugian apabila kita berusaha terus menerus memenuhinya, apalagi bila sampai mengabaikan kepuasan orang lain. Satu-satunya yang bisa menahan dan mengerem rasa ketidak-puasan manusia yang berlebih itu adalah, bersyukur. Kunci dari bersyukur adalah nerimo kalau dalam Bahasa Jawa. Apapun yang diberikan, usahakan untuk selalu nerimo dan merasa cukup. Syukuri hal-hal sekecil apapun yang Tuhan berikan.

Jangan sampai ketidakpuasan kita membuat sesuatu yang sudah kita miliki sebelumnya menjadi retak dan rusak. Hal yang sederhana contohnya adalah ketidakpuasan terhadap materi yang kita punya. Katakanlah kita sudah berumah tangga, lalu kita terbiasa dengan kehidupan berkecukupan. Kita juga memiliki gaya hidup yang lumayan tinggi, dan bisa dibilang lebih tinggi dibanding kemampuan kita. Kemudian keluarga kita diberikan ujian berupa masalah ekonomi. Kita yang mempunyai gaya hidup yang cukup tinggi dan cenderung selalu ingin memenuhi gengsi mungkin suatu saat akan mencapai batasnya dan berusaha mencari jalan pintas dari masalah yang sedang kita hadapi. Hal yang wajar bila manusia mempunyai limit berbeda untuk bertahan menghadapi krisis.

Kemudian bak gayuh bersambut, ketika kita sudah lelah dengan masalah ekonomi keluarga kita hingga tidak bisa memenuhi kebutuhan gaya hidup itu, muncul sosok (orang luar) yang kita rasa cukup bisa memenuhi kebutuhan ekonomi kita. Awalnya berdalih untuk anak, kasihan bila anak berlama-lama berada dalam keterpurukan ekonomi, padahal kita yang dikejar gengsi, akhirnya memilih untuk mengambil jalan keluar tercepat dan termudah, melakukan pengkhianatan kepada pasangan demi memenuhi kebutuhan materi, hanya karna kita tidak mau bersyukur dan nerimo. Hasilnya, apa yang sudah kita miliki yaitu keluarga akan retak dan bahkan bisa hilang dari genggaman.

Hal lain yang mungkin bisa dijadikan jalan keluar adalah, banyak meminjam uang kesana kemari. Tidak masalah bila meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan pokok yang mendesak, apalagi bila memang kondisi ekonomi keluarga sedang tidak baik. Tapi yang jadi masalah adalah apabila uang yang dipinjam ini dipergunakan untuk tujuan memenuhi tuntutan gengsi. Uang yang dipinjam kesana kemari digunakan agar bisa memenuhi gaya hidup bersama teman-teman dari kelas sosial yang bisa dibilang lebih tinggi dari kemampuan yang dimiliki. Hasilnya, gengsi dan gaya hidup yang tidak akan pernah ada habisnya itu akan makin menggerogoti perekonomian kita dengan makin menumpuknya hutang. Banyak berhutang selain tidak baik dimata Tuhan, juga bisa merusak hubungan kita dengan sesama manusia.

Sebenarnya dimana letak kesalahannya? Sekali lagi, setiap manusia punya limit yang berbeda dalam menghadapi krisis. Bisa jadi kita memang sudah mencapai limit dan berusaha mencari jalan keluar dari masalah yang membuat down, jadi tidak apa bukan? Apalagi bila dalam hal ini (dalam ber-rumah tangga), kita memiliki partner yang memang menurut kita tidak bisa diandalkan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup kita. Sebagai manusia dengan sifat alamiah yang tidak pernah puas tentu wajar bila kita mencari cara untuk mencapai kepuasan diri, dan tentunya jalan pintas akan lebih diminati karena lebih cepat, walaupun efek bahagianya juga mungkin akan cepat hilang.

Kembali ke konsep awal dari bersyukur dan nerimo. Apakah kita sudah mecoba untuk nerimo dan mensyukuri apa yang Tuhan berikan? Hal sekecil apapun itu. Apabila manusia punya limit dalam menghadapi krisis, bagiku bersyukur dan sabar itu tidak pernah ada batasnya. Menurutku, bila seseorang bilang sudah mencapai batas kesabaran, sudah mencapai batas bersyukur tapi kok masih kurang, berarti memang orang tersebut masih kurang sabar dan bersyukur. Bukan sabar dan syukur itu yang terbatas, tapi sekali lagi manusianya yang kurang sabar dan bersyukur.

Coba bayangkan apa yang mungkin bisa terjadi kalau kita mau nerimo dan bersyukur dengan keadaan seperti yang dicontohkan di atas. Alih-alih mencari partner baru untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, dengan nerimo apa yang Tuhan berikan kepada keluarga, kita bisa bersama-sama dengan partner yang kita punya untuk saling menyemangati dan memutar otak untuk melewati masa-masa sulit itu. Bukannya malah memperberat beban pikiran partner kita dengan berkhianat dan meminjam uang kesana kemari. Lalu andai saja kita bisa menekan ego dan menahan gengsi, merasa cukup atas apa yang kita punya dan tidak berusaha menuruti gaya hidup yang lebih tinggi dari kemampuan kita, pasti akan lebih banyak budget kebutuhan gengsi yang bisa disimpan dan dialokasikan ke hal lain yang lebih pokok, yang tentunya bisa sedikit membantu keluarga di masa sulit.

Contoh kisah ini merupakan pelajaran pribadi buat aku. Cukup menjadi pelajaran, jangan sampai menjadi pengalaman pribadi dan bagaimana kalau suatu saat aku menghadapi suatu krisis aku tidak seperti itu. Intinya, aku pun masih belajar dan terus belajar untuk banyak bersyukur dan nerimo. Bersyukur dalam segala hal. Bila sebelumnya bersyukur atas ilmu dan kemampuan yang Tuhan beri kepada kita, kali ini bersyukur terhadap berapapun materi yang Tuhan titipkan kepada kita.

Nerimo ing pandum. merupakan sebuah kalimat dalam Bahasa Jawa yang memiliki makna filosofis bahwa manusia sebaiknya menerima pemberian apa adanya tanpa menuntut lebih dari itu.

Rabu, 14 Oktober 2020

Pulang.

Mungkin kita terpisah jarak

Mungkin waktu juga tak mengijinkan bertemu

Tapi hatiku tau yang paling diinginkan

Hatiku tau tempatnya pulang,

kamu.

Sabtu, 10 Oktober 2020

Am I Competent?

Aku nggak tahu mau nulis apa, hehe.

Jadi sekarang aku sedang sangat gabut, tak banyak hal yang aku kerjakan. Hanya meunggu tanggal sumpah dokter. Hmm, tidak berasa sebentar lagi aku disumpah. Tapi jujur, mengemban gelar baru ini rasanya ‘beban banget’, serasa semua tanggungjawab dijatuhkan ke pundak. Waktu pengumuman lulus ujian kompetensi kemarin itu rasanya deg-degan, speechless, tapi tiba-tiba agak kencang juga kepala karena merasa “aduh ini beban hidup aku kok makin-makin ya”. Sejak itu aku benar-benar rajin berdoa hahaha, berdoa agar aku bisa menjadi dokter yang baik, bermanfaat, profesional, dan kompeten. Nggak apa-apa berdoa dulu aja, usahanya nanti dulu, masih pengen rebahan, hehe.

Kadang aku berpikir, apakah aku benar-benar bisa menjadi dokter yang baik? Aku merasa ilmu yang kupunyai segitu-gitu aja. Kapasitas otakku nggak seheboh teman-temanku. Aku anaknya benar-benar pelupa, butuh waktu lama buat belajar, giliran ujian kelar semua ilmu yang kupelajari cepat banget menguapnya. Ngomongin skill, apalagi. Aku pernah nggak lulus OSCE Kompre sekali, ujian praktik dengan pasien sebelum koas. Bukti kalau aku benar-benar kurang dalam penguasaan skill. So, am I competent?

Tak jarang aku merasa takut, minder, nggak pecaya diri kalau harus bertemu pasien dan harus periksa pasien (ini yang kualami sewaktu koas, setelah menjadi dokter tentunya aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak begini). Kadang ketika aku memeriksa pasien, aku dipenuhi berbagai kebingungan. Ini yang aku liat bener nggak ya? Aku salah dengar nggak ya? Tentu saja ketakutan dan keminderan itu muncul karna aku sadar kalau aku kurang berilmu. Tapi untuk menuntut ilmu itu sendiri, sampai sekarang pun aku masih mudah bosan dan tidak konsisten. Satu hal lagi yang aku sangat lemah, menghafal dan mengenal obat. Bagaimana bisa aku menjadi dokter kalau aku tidak tahu sediaan obat, merk dagang obat yang ada di pasaran, dan dosis yang diperlukan.

Tapi sekarang aku berpikir, bukankah kalau aku berhasil lulus ujian kompetensi berarti aku tidak begitu buruk? Aku pun kini bisa menjawab beberapa pertanyaan dari teman-temanku mengenai beberapa keluhan yang mereka alami dengan yakin dan percaya diri, walaupun saat ditanya obat aku pasti googling terlebih dahulu karna memang aku belum terlalu hafal nama-nama obat. Beberapa waktu yang lalu pun, aku merasa cukup bisa berpikir dan mengambil keputusan yang tepat saat aku mengikuti pelatihan penanganan kegawatdaruratan yang diadakan oleh fakultasku. Aku menjadi leader di kelompokku, dan walaupun sempat tersendat tapi aku merasa aku sudah memiliki pola pikir yang cukup terarah dalam menangani pasien gawat darurat (walaupun sudah pasti butuh pembiasaan agar bisa lebih cekatan).

Sepertinya, lagi dan lagi, yang menjadi masalah adalah minder dan tidak percaya diri. Aku terlalu tidak yakin dengan diriku sendiri, walaupun aku sudah berusaha semampuku. Hal ini yang tidak pernah berubah dari diriku. Aku sering merasa kurang, padahal mungkin sebenarnya aku tidak begitu buruk dan aku cukup siap. Ah, apakah aku kurang bersyukur? Saat menulis ini sejujurnya aku sedang berusaha untuk mencari solusi untuk diriku sendiri. Aku berusaha untuk membantu dan menyemangati diriku sendiri.

Untukku. Hai, jangan pernah berhenti belajar. Menjadi dokter rmemang harus menjadi long life learner. Tapi justru karna itu, setiap hari adalah proses belajar. Jangan takut dan jangan minder. Jangan pernah merasa kurang. Kamu tentu sudah mempunyai cukup bekal setelah 6 tahun sekolah mulai dari pre-klinik hingga koas. Kamu harus yakin dan menerapkan ilmu yang kamu punya dan kamu kuasai dengan baik dan tepat. Kalau kamu takut, lalu kapan kamu bisa menerapkan ilmu-mu itu? Ilmu yang kamu punya malah akan sia-sia dan tidak bermanfaat, bukan? Bahkan Tuhan sudah mengatakan untuk tinggalkan keraguan, jadi kamu harus yakin dan jangan takut Tapi jangan lupa juga, karna kamu selalu belajar, jangan pernah malu untuk membuka buku bila kamu tidak yakin dengan suatu hal agar keyakinan kembali kepadamu.

Bersyukurlah akan hal-hal terkecil yang kamu punya, yang Tuhan berikan. Ilmu yang membuatmu minder itu juga dari Tuhan, kamu harus mensyukurinya sekecil apapun itu. Alih-alih minder, kalau merasa kurang justru kamu harus bersyukur karna kamu diberikan Tuhan kesadaran akan kurangnya ilmu yang kamu kuasai sehingga kamu bisa memohon dan mempelajari ilmu dari Tuhanmu lebih banyak dan lebih dalam lagi.

Oke, jadi ini hanya secuil manifestasi keminderan dan ketidakpercayaan diriku. Aku hampir mempunyai perasaan minder dan tidak pecaya diri di segala aspek. Tidak hanya terkait kemampuanku yang merupakan amanah yang akan kuemban, aku juga memiliki ketidak-percaya-diri-an yang cukup dalam bersosialisasi. Tapi hal itu belum ingin kubahas untuk saat ini. Sudah terlalu lelah bukan, minder dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri?

Satu Bulan Internsip

Hola, ternyata sudah satu bulan tidak menulis. Padahal terlalu banyak kegelisahan-kegelisahan yang dialami dalam satu bulan ini, haha. Tap...