Halaman

Sabtu, 17 Oktober 2020

Nerimo ing Pandum

Masih dalam episode bersyukur.

Tidak pernah merasa puas, itu hal yang sangat manusiawi. Tapi terkadang ketidakpuasan itu bisa membawa kerugian apabila kita berusaha terus menerus memenuhinya, apalagi bila sampai mengabaikan kepuasan orang lain. Satu-satunya yang bisa menahan dan mengerem rasa ketidak-puasan manusia yang berlebih itu adalah, bersyukur. Kunci dari bersyukur adalah nerimo kalau dalam Bahasa Jawa. Apapun yang diberikan, usahakan untuk selalu nerimo dan merasa cukup. Syukuri hal-hal sekecil apapun yang Tuhan berikan.

Jangan sampai ketidakpuasan kita membuat sesuatu yang sudah kita miliki sebelumnya menjadi retak dan rusak. Hal yang sederhana contohnya adalah ketidakpuasan terhadap materi yang kita punya. Katakanlah kita sudah berumah tangga, lalu kita terbiasa dengan kehidupan berkecukupan. Kita juga memiliki gaya hidup yang lumayan tinggi, dan bisa dibilang lebih tinggi dibanding kemampuan kita. Kemudian keluarga kita diberikan ujian berupa masalah ekonomi. Kita yang mempunyai gaya hidup yang cukup tinggi dan cenderung selalu ingin memenuhi gengsi mungkin suatu saat akan mencapai batasnya dan berusaha mencari jalan pintas dari masalah yang sedang kita hadapi. Hal yang wajar bila manusia mempunyai limit berbeda untuk bertahan menghadapi krisis.

Kemudian bak gayuh bersambut, ketika kita sudah lelah dengan masalah ekonomi keluarga kita hingga tidak bisa memenuhi kebutuhan gaya hidup itu, muncul sosok (orang luar) yang kita rasa cukup bisa memenuhi kebutuhan ekonomi kita. Awalnya berdalih untuk anak, kasihan bila anak berlama-lama berada dalam keterpurukan ekonomi, padahal kita yang dikejar gengsi, akhirnya memilih untuk mengambil jalan keluar tercepat dan termudah, melakukan pengkhianatan kepada pasangan demi memenuhi kebutuhan materi, hanya karna kita tidak mau bersyukur dan nerimo. Hasilnya, apa yang sudah kita miliki yaitu keluarga akan retak dan bahkan bisa hilang dari genggaman.

Hal lain yang mungkin bisa dijadikan jalan keluar adalah, banyak meminjam uang kesana kemari. Tidak masalah bila meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan pokok yang mendesak, apalagi bila memang kondisi ekonomi keluarga sedang tidak baik. Tapi yang jadi masalah adalah apabila uang yang dipinjam ini dipergunakan untuk tujuan memenuhi tuntutan gengsi. Uang yang dipinjam kesana kemari digunakan agar bisa memenuhi gaya hidup bersama teman-teman dari kelas sosial yang bisa dibilang lebih tinggi dari kemampuan yang dimiliki. Hasilnya, gengsi dan gaya hidup yang tidak akan pernah ada habisnya itu akan makin menggerogoti perekonomian kita dengan makin menumpuknya hutang. Banyak berhutang selain tidak baik dimata Tuhan, juga bisa merusak hubungan kita dengan sesama manusia.

Sebenarnya dimana letak kesalahannya? Sekali lagi, setiap manusia punya limit yang berbeda dalam menghadapi krisis. Bisa jadi kita memang sudah mencapai limit dan berusaha mencari jalan keluar dari masalah yang membuat down, jadi tidak apa bukan? Apalagi bila dalam hal ini (dalam ber-rumah tangga), kita memiliki partner yang memang menurut kita tidak bisa diandalkan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup kita. Sebagai manusia dengan sifat alamiah yang tidak pernah puas tentu wajar bila kita mencari cara untuk mencapai kepuasan diri, dan tentunya jalan pintas akan lebih diminati karena lebih cepat, walaupun efek bahagianya juga mungkin akan cepat hilang.

Kembali ke konsep awal dari bersyukur dan nerimo. Apakah kita sudah mecoba untuk nerimo dan mensyukuri apa yang Tuhan berikan? Hal sekecil apapun itu. Apabila manusia punya limit dalam menghadapi krisis, bagiku bersyukur dan sabar itu tidak pernah ada batasnya. Menurutku, bila seseorang bilang sudah mencapai batas kesabaran, sudah mencapai batas bersyukur tapi kok masih kurang, berarti memang orang tersebut masih kurang sabar dan bersyukur. Bukan sabar dan syukur itu yang terbatas, tapi sekali lagi manusianya yang kurang sabar dan bersyukur.

Coba bayangkan apa yang mungkin bisa terjadi kalau kita mau nerimo dan bersyukur dengan keadaan seperti yang dicontohkan di atas. Alih-alih mencari partner baru untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, dengan nerimo apa yang Tuhan berikan kepada keluarga, kita bisa bersama-sama dengan partner yang kita punya untuk saling menyemangati dan memutar otak untuk melewati masa-masa sulit itu. Bukannya malah memperberat beban pikiran partner kita dengan berkhianat dan meminjam uang kesana kemari. Lalu andai saja kita bisa menekan ego dan menahan gengsi, merasa cukup atas apa yang kita punya dan tidak berusaha menuruti gaya hidup yang lebih tinggi dari kemampuan kita, pasti akan lebih banyak budget kebutuhan gengsi yang bisa disimpan dan dialokasikan ke hal lain yang lebih pokok, yang tentunya bisa sedikit membantu keluarga di masa sulit.

Contoh kisah ini merupakan pelajaran pribadi buat aku. Cukup menjadi pelajaran, jangan sampai menjadi pengalaman pribadi dan bagaimana kalau suatu saat aku menghadapi suatu krisis aku tidak seperti itu. Intinya, aku pun masih belajar dan terus belajar untuk banyak bersyukur dan nerimo. Bersyukur dalam segala hal. Bila sebelumnya bersyukur atas ilmu dan kemampuan yang Tuhan beri kepada kita, kali ini bersyukur terhadap berapapun materi yang Tuhan titipkan kepada kita.

Nerimo ing pandum. merupakan sebuah kalimat dalam Bahasa Jawa yang memiliki makna filosofis bahwa manusia sebaiknya menerima pemberian apa adanya tanpa menuntut lebih dari itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Satu Bulan Internsip

Hola, ternyata sudah satu bulan tidak menulis. Padahal terlalu banyak kegelisahan-kegelisahan yang dialami dalam satu bulan ini, haha. Tap...