Halaman

Senin, 09 Desember 2019

Indonesia Bebas Pasung

Dalam masyarakat, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berhadapan dengan stigma, diskriminasi, dan marginalisasi. Stigma menyebabkan ODGJ tidak mencari pengobatan yang diperlukan atau mereka mencari pengobatan namun mendapatkan pelayanan dengan mutu rendah. Marginalisasi dan diskriminasi juga meningkatkan risiko kekerasan terhadap hak-hak individu, hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada ODGJ tersebut. Stigma masyarakat mengenai ODGJ yang suka mengamuk dan berisiko mencelakai orang lain maupun diri sendiri adalah penyebab kebanyakan ODGJ mengalami pemasungan.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, dari sekitar 400.000 ODGJ berat, satu di antara 7 ODGJ tersebut pernah mengalami pemasungan. Hingga tahun 2015 telah ditemukan lebih dari 8000 kasus pemasungan di Indonesia dan diperkirakan jumlahnya lebih banyak lagi di masyarakat.

Pemasungan sendiri memiliki pengertian segala tindakan pengikatan dan pengekangan fisik yang dapat mengakibatkan kehilangan kebebasan seseorang. Indonesia Bebas Pasung 2019 adalah upaya untuk membuat Indonesia bebas secara nasional dari praktek pemasungan dan penelantaran terhadap ODGJ. Upaya ini telah dideklarasikan oleh Menteri Kesehatan RI pada 10 Oktober 2010, dan merupakan upaya bersama Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kepolisian, dan BPJS Kesehatan yang telah disepakati dengan penandatanganan Nota Kesepahaman lintas kementerian/lembaga.

Masyarakat banyak salah kaprah dan merasa mereka sebagai korban karena terancam terkena amukan atau dilukai oleh ODGJ. Selain itu masih ada pola pikir dan kultur di masyarakat yang menganggap pemasungan merupakan salah satu cara menyembuhkan ODGJ. Hal tersebut tentu tidak benar karena faktanya justru ODGJ yang mengalami pemasungan itulah yang menjadi korban. ODGJ yang seharusnya ditolong dan segera mendapat perawatan medis maupun psikoterapi malah dikekang haknya untuk memperoleh kebebasan sekaligus mendapatkan kehidupan yang layak dan akses kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya pemasungan termasuk dalam pelanggaran HAM terhadap ODGJ.



Pemasungan terjadi karena masih rendahnya pengetahuan keluarga dan masyarakat mengenai penyakit gangguan jiwa yang dialami oleh ODGJ. Peluang pemasungan terjadi lebih besar pada kelompok yang tinggal di pedesaan atau berasal dari kalangan sosial ekonomi bawah. Alasan pemasungan yang lain adalah sulitnya akses layanan kesehatan jiwa, termasuk sistem pelayanan kesehatan jiwa yang belum optimal sehingga perlu peningkatan keterampilan tenaga ahli untuk menangani ODGJ dengan tepat mulai dari fasilitas pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas.

Karena alasan tersering pemasungan adalah dari pihak masyarakat, khususnya dari pihak keluarga ODGJ itu sendiri, maka perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai hal ini. Masyarakat perlu diedukasi bahwa ODGJ dapat disembuhkan apabila mendapat perawatan yang tepat, dan pemasungan bukanlah pilihan yang tepat. Masyarakat diharapkan mampu mengenali kasus-kasus gangguan jiwa yang mungkin terjadi di masyarakat, mempromosikan kepada sesama untuk menghindari praktek pemasungan, melaporkan temuan ODGJ terutama yang mengalami pemasungan kepada pihak terkait (pejabat desa, tenaga medis, atau kepolisian), dan mendorong keluarga atau anggota masyarakat untuk memberikan akses ODGJ berobat dan melakukan kontrol. Setelah ODGJ terkontrol, masyarakat dapat membantu proses rehabilitasi ODGJ dengan menerima dan mendorong penderita melakukan aktivitas sosial sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Sudah saatnya stigma tentang ODGJ dihilangkan, tentunya mulai dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar.


Referensi:
PMK No 54 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Pemasungan pada Orang dengan Gangguan Jiwa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Satu Bulan Internsip

Hola, ternyata sudah satu bulan tidak menulis. Padahal terlalu banyak kegelisahan-kegelisahan yang dialami dalam satu bulan ini, haha. Tap...