Halaman

Rabu, 21 Oktober 2020

Sumpah

Sumpah

Walaupun dari rumah,

semoga tetap menjadi berkah,

dan dapat menjalankan amanah

Ini bukanlah akhir

Justru awal meniti karir

Tak hanya karir tapi juga pengabdian

Tak hanya tuk handai tolan,

tapi juga tuk kemanusiaan

Sebagai bakti pada almamater, nusa bangsa, juga Tuhan

Serta bakti tuk ilmu pengetahuan


Tribute to Pelantikan Dokter Periode I T.A. 2020/2021 FKKMK UGM, 13 Oktober 2020

Bismillah, semoga selalu menjadi dokter yang amanah


Sabtu, 17 Oktober 2020

Nerimo ing Pandum

Masih dalam episode bersyukur.

Tidak pernah merasa puas, itu hal yang sangat manusiawi. Tapi terkadang ketidakpuasan itu bisa membawa kerugian apabila kita berusaha terus menerus memenuhinya, apalagi bila sampai mengabaikan kepuasan orang lain. Satu-satunya yang bisa menahan dan mengerem rasa ketidak-puasan manusia yang berlebih itu adalah, bersyukur. Kunci dari bersyukur adalah nerimo kalau dalam Bahasa Jawa. Apapun yang diberikan, usahakan untuk selalu nerimo dan merasa cukup. Syukuri hal-hal sekecil apapun yang Tuhan berikan.

Jangan sampai ketidakpuasan kita membuat sesuatu yang sudah kita miliki sebelumnya menjadi retak dan rusak. Hal yang sederhana contohnya adalah ketidakpuasan terhadap materi yang kita punya. Katakanlah kita sudah berumah tangga, lalu kita terbiasa dengan kehidupan berkecukupan. Kita juga memiliki gaya hidup yang lumayan tinggi, dan bisa dibilang lebih tinggi dibanding kemampuan kita. Kemudian keluarga kita diberikan ujian berupa masalah ekonomi. Kita yang mempunyai gaya hidup yang cukup tinggi dan cenderung selalu ingin memenuhi gengsi mungkin suatu saat akan mencapai batasnya dan berusaha mencari jalan pintas dari masalah yang sedang kita hadapi. Hal yang wajar bila manusia mempunyai limit berbeda untuk bertahan menghadapi krisis.

Kemudian bak gayuh bersambut, ketika kita sudah lelah dengan masalah ekonomi keluarga kita hingga tidak bisa memenuhi kebutuhan gaya hidup itu, muncul sosok (orang luar) yang kita rasa cukup bisa memenuhi kebutuhan ekonomi kita. Awalnya berdalih untuk anak, kasihan bila anak berlama-lama berada dalam keterpurukan ekonomi, padahal kita yang dikejar gengsi, akhirnya memilih untuk mengambil jalan keluar tercepat dan termudah, melakukan pengkhianatan kepada pasangan demi memenuhi kebutuhan materi, hanya karna kita tidak mau bersyukur dan nerimo. Hasilnya, apa yang sudah kita miliki yaitu keluarga akan retak dan bahkan bisa hilang dari genggaman.

Hal lain yang mungkin bisa dijadikan jalan keluar adalah, banyak meminjam uang kesana kemari. Tidak masalah bila meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan pokok yang mendesak, apalagi bila memang kondisi ekonomi keluarga sedang tidak baik. Tapi yang jadi masalah adalah apabila uang yang dipinjam ini dipergunakan untuk tujuan memenuhi tuntutan gengsi. Uang yang dipinjam kesana kemari digunakan agar bisa memenuhi gaya hidup bersama teman-teman dari kelas sosial yang bisa dibilang lebih tinggi dari kemampuan yang dimiliki. Hasilnya, gengsi dan gaya hidup yang tidak akan pernah ada habisnya itu akan makin menggerogoti perekonomian kita dengan makin menumpuknya hutang. Banyak berhutang selain tidak baik dimata Tuhan, juga bisa merusak hubungan kita dengan sesama manusia.

Sebenarnya dimana letak kesalahannya? Sekali lagi, setiap manusia punya limit yang berbeda dalam menghadapi krisis. Bisa jadi kita memang sudah mencapai limit dan berusaha mencari jalan keluar dari masalah yang membuat down, jadi tidak apa bukan? Apalagi bila dalam hal ini (dalam ber-rumah tangga), kita memiliki partner yang memang menurut kita tidak bisa diandalkan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup kita. Sebagai manusia dengan sifat alamiah yang tidak pernah puas tentu wajar bila kita mencari cara untuk mencapai kepuasan diri, dan tentunya jalan pintas akan lebih diminati karena lebih cepat, walaupun efek bahagianya juga mungkin akan cepat hilang.

Kembali ke konsep awal dari bersyukur dan nerimo. Apakah kita sudah mecoba untuk nerimo dan mensyukuri apa yang Tuhan berikan? Hal sekecil apapun itu. Apabila manusia punya limit dalam menghadapi krisis, bagiku bersyukur dan sabar itu tidak pernah ada batasnya. Menurutku, bila seseorang bilang sudah mencapai batas kesabaran, sudah mencapai batas bersyukur tapi kok masih kurang, berarti memang orang tersebut masih kurang sabar dan bersyukur. Bukan sabar dan syukur itu yang terbatas, tapi sekali lagi manusianya yang kurang sabar dan bersyukur.

Coba bayangkan apa yang mungkin bisa terjadi kalau kita mau nerimo dan bersyukur dengan keadaan seperti yang dicontohkan di atas. Alih-alih mencari partner baru untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, dengan nerimo apa yang Tuhan berikan kepada keluarga, kita bisa bersama-sama dengan partner yang kita punya untuk saling menyemangati dan memutar otak untuk melewati masa-masa sulit itu. Bukannya malah memperberat beban pikiran partner kita dengan berkhianat dan meminjam uang kesana kemari. Lalu andai saja kita bisa menekan ego dan menahan gengsi, merasa cukup atas apa yang kita punya dan tidak berusaha menuruti gaya hidup yang lebih tinggi dari kemampuan kita, pasti akan lebih banyak budget kebutuhan gengsi yang bisa disimpan dan dialokasikan ke hal lain yang lebih pokok, yang tentunya bisa sedikit membantu keluarga di masa sulit.

Contoh kisah ini merupakan pelajaran pribadi buat aku. Cukup menjadi pelajaran, jangan sampai menjadi pengalaman pribadi dan bagaimana kalau suatu saat aku menghadapi suatu krisis aku tidak seperti itu. Intinya, aku pun masih belajar dan terus belajar untuk banyak bersyukur dan nerimo. Bersyukur dalam segala hal. Bila sebelumnya bersyukur atas ilmu dan kemampuan yang Tuhan beri kepada kita, kali ini bersyukur terhadap berapapun materi yang Tuhan titipkan kepada kita.

Nerimo ing pandum. merupakan sebuah kalimat dalam Bahasa Jawa yang memiliki makna filosofis bahwa manusia sebaiknya menerima pemberian apa adanya tanpa menuntut lebih dari itu.

Rabu, 14 Oktober 2020

Pulang.

Mungkin kita terpisah jarak

Mungkin waktu juga tak mengijinkan bertemu

Tapi hatiku tau yang paling diinginkan

Hatiku tau tempatnya pulang,

kamu.

Sabtu, 10 Oktober 2020

Am I Competent?

Aku nggak tahu mau nulis apa, hehe.

Jadi sekarang aku sedang sangat gabut, tak banyak hal yang aku kerjakan. Hanya meunggu tanggal sumpah dokter. Hmm, tidak berasa sebentar lagi aku disumpah. Tapi jujur, mengemban gelar baru ini rasanya ‘beban banget’, serasa semua tanggungjawab dijatuhkan ke pundak. Waktu pengumuman lulus ujian kompetensi kemarin itu rasanya deg-degan, speechless, tapi tiba-tiba agak kencang juga kepala karena merasa “aduh ini beban hidup aku kok makin-makin ya”. Sejak itu aku benar-benar rajin berdoa hahaha, berdoa agar aku bisa menjadi dokter yang baik, bermanfaat, profesional, dan kompeten. Nggak apa-apa berdoa dulu aja, usahanya nanti dulu, masih pengen rebahan, hehe.

Kadang aku berpikir, apakah aku benar-benar bisa menjadi dokter yang baik? Aku merasa ilmu yang kupunyai segitu-gitu aja. Kapasitas otakku nggak seheboh teman-temanku. Aku anaknya benar-benar pelupa, butuh waktu lama buat belajar, giliran ujian kelar semua ilmu yang kupelajari cepat banget menguapnya. Ngomongin skill, apalagi. Aku pernah nggak lulus OSCE Kompre sekali, ujian praktik dengan pasien sebelum koas. Bukti kalau aku benar-benar kurang dalam penguasaan skill. So, am I competent?

Tak jarang aku merasa takut, minder, nggak pecaya diri kalau harus bertemu pasien dan harus periksa pasien (ini yang kualami sewaktu koas, setelah menjadi dokter tentunya aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak begini). Kadang ketika aku memeriksa pasien, aku dipenuhi berbagai kebingungan. Ini yang aku liat bener nggak ya? Aku salah dengar nggak ya? Tentu saja ketakutan dan keminderan itu muncul karna aku sadar kalau aku kurang berilmu. Tapi untuk menuntut ilmu itu sendiri, sampai sekarang pun aku masih mudah bosan dan tidak konsisten. Satu hal lagi yang aku sangat lemah, menghafal dan mengenal obat. Bagaimana bisa aku menjadi dokter kalau aku tidak tahu sediaan obat, merk dagang obat yang ada di pasaran, dan dosis yang diperlukan.

Tapi sekarang aku berpikir, bukankah kalau aku berhasil lulus ujian kompetensi berarti aku tidak begitu buruk? Aku pun kini bisa menjawab beberapa pertanyaan dari teman-temanku mengenai beberapa keluhan yang mereka alami dengan yakin dan percaya diri, walaupun saat ditanya obat aku pasti googling terlebih dahulu karna memang aku belum terlalu hafal nama-nama obat. Beberapa waktu yang lalu pun, aku merasa cukup bisa berpikir dan mengambil keputusan yang tepat saat aku mengikuti pelatihan penanganan kegawatdaruratan yang diadakan oleh fakultasku. Aku menjadi leader di kelompokku, dan walaupun sempat tersendat tapi aku merasa aku sudah memiliki pola pikir yang cukup terarah dalam menangani pasien gawat darurat (walaupun sudah pasti butuh pembiasaan agar bisa lebih cekatan).

Sepertinya, lagi dan lagi, yang menjadi masalah adalah minder dan tidak percaya diri. Aku terlalu tidak yakin dengan diriku sendiri, walaupun aku sudah berusaha semampuku. Hal ini yang tidak pernah berubah dari diriku. Aku sering merasa kurang, padahal mungkin sebenarnya aku tidak begitu buruk dan aku cukup siap. Ah, apakah aku kurang bersyukur? Saat menulis ini sejujurnya aku sedang berusaha untuk mencari solusi untuk diriku sendiri. Aku berusaha untuk membantu dan menyemangati diriku sendiri.

Untukku. Hai, jangan pernah berhenti belajar. Menjadi dokter rmemang harus menjadi long life learner. Tapi justru karna itu, setiap hari adalah proses belajar. Jangan takut dan jangan minder. Jangan pernah merasa kurang. Kamu tentu sudah mempunyai cukup bekal setelah 6 tahun sekolah mulai dari pre-klinik hingga koas. Kamu harus yakin dan menerapkan ilmu yang kamu punya dan kamu kuasai dengan baik dan tepat. Kalau kamu takut, lalu kapan kamu bisa menerapkan ilmu-mu itu? Ilmu yang kamu punya malah akan sia-sia dan tidak bermanfaat, bukan? Bahkan Tuhan sudah mengatakan untuk tinggalkan keraguan, jadi kamu harus yakin dan jangan takut Tapi jangan lupa juga, karna kamu selalu belajar, jangan pernah malu untuk membuka buku bila kamu tidak yakin dengan suatu hal agar keyakinan kembali kepadamu.

Bersyukurlah akan hal-hal terkecil yang kamu punya, yang Tuhan berikan. Ilmu yang membuatmu minder itu juga dari Tuhan, kamu harus mensyukurinya sekecil apapun itu. Alih-alih minder, kalau merasa kurang justru kamu harus bersyukur karna kamu diberikan Tuhan kesadaran akan kurangnya ilmu yang kamu kuasai sehingga kamu bisa memohon dan mempelajari ilmu dari Tuhanmu lebih banyak dan lebih dalam lagi.

Oke, jadi ini hanya secuil manifestasi keminderan dan ketidakpercayaan diriku. Aku hampir mempunyai perasaan minder dan tidak pecaya diri di segala aspek. Tidak hanya terkait kemampuanku yang merupakan amanah yang akan kuemban, aku juga memiliki ketidak-percaya-diri-an yang cukup dalam bersosialisasi. Tapi hal itu belum ingin kubahas untuk saat ini. Sudah terlalu lelah bukan, minder dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri?

Rabu, 07 Oktober 2020

Romantis

Romantis

Kala playlist memutar lagu Oasis,

di tengah hujan gerimis

Berdua mengelilingi kota,

menantang cuaca

You’re my wonderwall

Selarik lirik nan apik

Tenang,

terasa hangat,

memeluk hati,

menipu raga yang diterpa dinginnya AC mobil

Sabtu, 03 Oktober 2020

Muka Dua, Introvert yang (kelihatan) Banyak Teman

Introverts are relatively more withdrawn, retiring, reserved, quiet, and deliberate; they may tend to mute or guard expression of positive affect, adopt more skeptical views or positions, and prefer to work independently [concept originated by Carl Jung for the study of personality types]https://dictionary.apa.org/introversion

Translate by Google Translate: introvert relatif lebih pendiam, cenderung menjaga ekspresi terhadap suatu afek positif, memiliki pandangan yang lebih skeptis, dan suka bekerja sendiri.

Teman-temanku yang belum mengenalku banyak yang tidak percaya kalau aku seorang introvert (paling tidak ini menurutku, karna bisa saja aku ternyata adalah seorang ambivert, who knows?). Yah, karna dari luar aku nampak memiliki banyak teman, mudah bergaul, dan cukup bisa berkomunikasi dengan aktif.

Tapi hal yang tidak mereka ketahui adalah, ketika aku kembali ke duniaku sendiri aku baru merasakan seluruh energiku terkuras habis setelah bersosialisasi dengan orang-orang. Aku bukannya tidak suka, tidak. Aku menikmati saat aku berkomunikasi dan besosialisasi dengan teman-temanku, aku tertawa bersama mereka memang karna aku senang, aku ikut bergosip memang karna aku tertarik. Tapi entah bagaimana, secara ajaib semua hal tersebut menguras habis energiku sampai di titik aku harus sendiri. Menikmati waktuku sendiri sampai aku merasa energiku kembali terkumpul.

Beberapa hal yang kurasakan mungkin tidak sesuai dengan definisi menurut Bapak Carl Jung di atas, aku bukan seorang pendiam, aku juga tidak akan jaim terhadap hal yang seharusnya aku tertawakan (paling tidak itu yang kupahami dari hasil translasinya). Tapi jika diberi pilihan tentu aku lebih suka bekerja sendiri dan untuk beberapa hal aku terkadang bisa berpikir skeptis tanpa aku sadari.

Kembali ke aku, sebenarnya baru beberapa tahun terakhir ini aku mengklaim diriku sebagai seorang introvert. Sejak kecil aku merasa aku adalah seorang ekstrovert karna aku banyak teman, cukup sering berbicara di depan publik, sangat ekspresif, dan sangat easy-going. Tapi beberapa hal yang aku sadari setelah lebih berumur adalah, semua itu aku lakukan karna aku masih dalam masa mencari eksistensi, aku merasa takut dan khawatir kalau aku tidak punya teman, dan sebagian besar karna tepaksa dan kadung kecemplung kalau dalam istilah Bahasa Jawa.

Pada saat masih berumur di bawah 20 tahun, aku merasa aku harus bisa tampil dan dikenal banyak orang, mempunyai banyak teman, semua itu aku lakukan sebatas untuk eksistensi tanpa memikirkan untuk apa. Selain itu, tanpa kusadari aku juga cukup mendapat banyak kesempatan untuk tampil, sehingga seolah-olah aku memang benar-benar seorang ekstrovert. Pada kenyataannya aku tidak pernah melakukan approach terlebih dahulu. Aku terkesan punya banyak teman karna sebagian dari mereka mau membuka diri untukku (sejujurnya aku malu dan tidak percaya diri, serta cenderung malas untuk memulai suatu pertemanan atau hubungan baru dengan orang baru). Aku tidak pernah dan sangat jarang memulai mengajak, dan cenderung selalu diajak. Selain itu seperti kubilang sebelumnya, secara tidak sengaja banyak kesempatan datang yang membuatku terpaksa harus tampil dan berada di depan publik.

Selama ini dengan banyaknya teman yang aku kenal, aku tetap lebih enjoy dengan diriku sendiri. Aku lebih menikmati waktuku ketika aku meghabiskannya sendiri. Aku menikmati waktu-waktuku ketika aku pulang kuliah langsung pulang, pergi mencari makan sendiri, dan makan di tempat makan sendiri (hal yang bagi teman-temanku kadang dianggap aneh tapi aku justru sangat suka), belanja ke manapun juga sendiri, tanpa perlu membuang energiku untuk bertemu dan berhubungan dengan orang-orang. Aku bergaul dan bersosialisasi hanya sebatas untuk mencari eksistensi. Hingga akhirnya aku mulai mencari tahu dan meraba-raba, apakah aku perlu melanjutkan ini? Pencarian eksistensi ini? Aku merasa waktuku sangatlah kurang untuk diri sendiri. Aku selalu merasa kehabisan energi setelah terlalu banyak bertemu dengan orang.

Setelah mulai memikirkan untuk apa aku mencari eksistensi diri, dan ternyata aku menemukan jawaban versiku, "tidak ada gunanya untuk sekarang", aku memutuskan untuk mengurangi aktivitas sosialku. Aku lebih banyak mengeksplorasi diriku, mencari tahu apa yang sebenarnya aku butuhkan dan apa yang terbaik untukku. Dulu aku biasa keluar sampai malam tapi aku selalu merasa lelah berlebihan setelahnya dan tidak mendapat apa-apa dari itu, tidak ada value berharga yang kudapat tapi justru energiku seperti tekuras habis hanya untuk memenuhi keinginan mencapai eksistensi. Sekarang aku berusaha sebisa mungkin sudah di rumah sebelum matahari terbenam dan hal ini membawa perubahan yang cukup baik untukku. Aku memiliki banyak waktu untuk diriku sendiri. Aku memiliki banyak kesempatan untuk lebih mengenal diriku sendiri, salah satunya dengan menulis.

Tapi terkadang aku juga berpikir, daripada disebut introvert aku lebih cocok disebut memiliki kepribadian tertutup (tolong beritahu aku, apakah dua tipe kepribadian itu sebenarnya sama atau memang berbeda). Sekali lagi, aku punya banyak teman, aku anak yang easy-going dan ekspresif, tapi dibalik semua itu aku adalah seseorang yang tidak pernah menceritakan masalah-masalahku terutama masalah terdalam dan terbesarku kepada siapapun (sampai aku menemukan pasanganku, dan dia menjadi satu-satunya tempatku berbagi keluh kesah). Aku benar-benar setertutup itu, karna aku tidak penah merasa mempunyai orang yang benar-benar bisa selalu ada, dapat mendengarkan, dan dapat kupercaya.

Terkadang aku berpikir, apakah aku munafik? Ketika aku berkumpul dengan orang banyak, aku tulus ketika menertawakan sesuatu. Aku serius ketika aku bersemangat mengemukakan pendapatku di depan publik. Aku tidak merasa ada yang kututupi, dan aku merasa aku tetap menjadi diriku sendiri. Aku hanya tidak ingin membagikan keluh kesahku kepada orang-orang yang aku tidak kenal begitu dekat, karna untuk apa? Lebih baik kusimpan sendiri sampai aku menemukan satu orang yang benar-benar kupercaya bisa menjadi pendengar yang baik dan selalu siaga mendengarkanku, bukan?

Cukup dengan aku. Menurutku, menjadi seorang introvert atau seorang dengan kepribadian tertutup tidak serta merta membuat kita menjadi pribadi yang tidak bisa bersosialisasi. Public speaking diperlukan untuk semua orang, baik yang ekstrovert maupun introvert. Sosialisasi juga tidak bisa dihindari walaupun kita menganggap diri kita seorang introvert karna sudah kodratnya manusia adalah makhluk sosial.

Introvert ataupun ekstrovert adalah bagaimana kita menyikapi stimulus dari luar, dalam hal ini sosialisasi dan komunikasi dengan orang lain. Jika ekstrovert cenderung mendapat semangat yang lebih ketika bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain, introvert butuh istirahat (quality me time) dan mengisi energinya sendiri setelah bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain, dan menurutku itu bukanlah suatu kemunafikan. Bukan berarti introvert yang pandai bergaul itu bermuka dua, dia hanya bisa menempatkan dirinya dengan baik dalam berbagai keadaan dan mungkin memang mendapat kesempatan lebih untuk tampil.

Sekian dariku. Jadi, apakah aku introvert? Atau aku hanyalah seseorang yang tertutup dan tidak percaya diri?

Satu Bulan Internsip

Hola, ternyata sudah satu bulan tidak menulis. Padahal terlalu banyak kegelisahan-kegelisahan yang dialami dalam satu bulan ini, haha. Tap...